17 Februari, 2008

Permesta, Monsieur?

Rangka menara Eifel, malam hari. Foto L Matan.



Saya menyusuri Rue de Babylone. Menghirup udara segar sambil cari cemilan. Jam 4 sore. Sinar matahari sebentar lagi meninggalkan kota Paris.

Lihat kiri, lihat kanan. Di salah satu sudut persimpangan jalan, ada toko buku kecil. Namanya “Librairie de l’Asie - Culturelle et religieus“. Sepertinya mereka menjual buku-buku tentang Asia. Saya tidak paham bahasa Perancis.

Saya masuk toko itu. Lihat sana, lihat sini. Buku-buku dijual murah. Sialan, buku berbahasa Perancis semua. Saya bersiap keluar.

Pandangan mata saya tak sengaja tersangkut pada satu monografi bersampul warna krem. Judulnya Permesta: Half a Rebellion. Tanpa pikir ini, pikir itu, karya Barbara Harvey itu saya bayar. Bawa pulang.

Dari bacaan ini saya dapat inspirasi.

Bukan, ... bukan untuk melancarkan pemberontakan Permesta jilid II, seperti para tentara yang ngambek itu. Bukan pula inspirasi jadi Robespier, revolusioner kelas kampung yang mendunia itu. Monografi ini adalah persinggungan pertama saya dengan ekonomi-politik kopra.

Saya lahir di Minahasa. Dan selalu terkesima, kapan saja melihat pohon-pohon kelapa melambai-lambai dari kejauhan, entah dari dalam pesawat sebelum mendarat atau dari atas geladak kapal PELNI sebelum merapat, ketika sampai di daerah ini. [Dasar orang kampung! Di jantung kota Paris, pikirannya ingat kampung].

Perekonomian daerah Minahasa bergantung kopra. Tahun 1940-an, pangsa kopra dari keseluruhan ekspor adalah sebesar 86 persen. Ketika itu, pasokan kopra dikelola oleh sebuah yayasan, Jayasan Kopra. Januari 1955, di Manado, yayasan ini diambil alih pengusaha Minahasa, petani kelapa dan veteran tentara. Namanya jadi Jajasan Kelapa Minahasa.

Satu tahun setelahnya, Jayasan Kopra itu dibubarkan. Bangkrut. Utangnya bertumpuk. ***

Paris, 29 September 2005.