16 Maret, 2008

Kota Luther 1: Wittenberg

Bila si Muslim pergi ke Mekkah, si Katolik ke Vatikan, kira-kira kemanakah si Protestan? Orang bilang ke Betlehem, di Israel. Ini tempat Yesus lahir.

Selain tempat ini, adakah tempat lain? Wittenberg.

Apa, Wittenberg?

Ini kota kecil. Letaknya di tengah Jerman. Di negara bagian Sachsen-Anhalt. Meski kotanya kecil, pengaruhnya tidak kecil. Amat besar malah.

Martin Luther, bapak protestanisme itu, melancarkan tesis-tesisnya dari Wittenberg. Ia melawan surat pengampunan dosa. Baginya, manusia selamat melalui pengampunan Tuhan. Bukan dengan sepucuk kertas.

Konon, 95 tesis terkenal itu ditempel Luther di pintu gereja Schlosskirche, pada bulan Oktober 1517 (Foto kiri, bagian dalam gereja itu).

Saya menyebut konon, soalnya kabar penempelan tersebut diberitakan Philipp Melanchthon – teman dekat Luther. Melanchthon sendiri sedang tidak berada di Wittenberg saat peristiwa itu terjadi. Para sejarawan masih belum sepakat tentang ini.

Luther adalah profesor teologi di Universitas Wittenberg. Ia menguasai ilmu pengetahuan, ia menerjemahkan kitab Perjanjian Lama, ia mengotak-atik bahasa Jerman, ia mengkoordinasikan orang dan sumberdaya. Ia juga menulis, berdebat, mencetak tulisannya, dan menyebarkan pikiran-pikirannya. Di awal 1500an, Luther menggunakan teknik modern – yang disediakan kemajuan Eropa – untuk memenangkan gagasan dan pengaruh.

Universitas Wittenberg menjadi universitas terpenting di Eropa kala itu, bersama Universitas Oxford. Pengaruhnya sampai ke ujung bumi. Tak kurang sampai ke pelosok tanah Batak dan Minahasa.

Universitas Wittenberg akhirnya digabung dengan Universitas Halle, tahun 1817. Namanya menjadi Martin-Luther-Universität Halle-Wittenberg. Kampus utama ada di kota Halle, di samping sungai Saale, sekitar 80 km arah barat daya dari Wittenberg.

Terakhir saya ke Wittenberg, 23 Februari 2008, saya masuk lagi ke museum Luther. Di dalam museum ada macam-macam. Lukisan-lukisan besar. Barang-barang milik pribadi. Buku-buku Luther. Ruang kerja Luther. Kutipan-kutipan karya Luther.

Di salah satu dinding tergantung kutipan ini,
“Wo Christus ist, geht er allzeit wider den Strom“. Di mana ada Kristus, dia senantiasa melawan arus. ***


Baca juga

Cerita tiket kereta ke Wittenberg


Pusat kota Wittenberg (Foto: S Mumbunan)


Ruang bawah tanah di rumah Luther (Foto: F Thufail)


Leucorea, pusat Universitas Wittenberg,
tempat Luther mengajar (Foto: F Thufail)


Bagian dalam gereja Schlosskirche (Foto: F Thufail)




17 Februari, 2008

Permesta, Monsieur?

Rangka menara Eifel, malam hari. Foto L Matan.



Saya menyusuri Rue de Babylone. Menghirup udara segar sambil cari cemilan. Jam 4 sore. Sinar matahari sebentar lagi meninggalkan kota Paris.

Lihat kiri, lihat kanan. Di salah satu sudut persimpangan jalan, ada toko buku kecil. Namanya “Librairie de l’Asie - Culturelle et religieus“. Sepertinya mereka menjual buku-buku tentang Asia. Saya tidak paham bahasa Perancis.

Saya masuk toko itu. Lihat sana, lihat sini. Buku-buku dijual murah. Sialan, buku berbahasa Perancis semua. Saya bersiap keluar.

Pandangan mata saya tak sengaja tersangkut pada satu monografi bersampul warna krem. Judulnya Permesta: Half a Rebellion. Tanpa pikir ini, pikir itu, karya Barbara Harvey itu saya bayar. Bawa pulang.

Dari bacaan ini saya dapat inspirasi.

Bukan, ... bukan untuk melancarkan pemberontakan Permesta jilid II, seperti para tentara yang ngambek itu. Bukan pula inspirasi jadi Robespier, revolusioner kelas kampung yang mendunia itu. Monografi ini adalah persinggungan pertama saya dengan ekonomi-politik kopra.

Saya lahir di Minahasa. Dan selalu terkesima, kapan saja melihat pohon-pohon kelapa melambai-lambai dari kejauhan, entah dari dalam pesawat sebelum mendarat atau dari atas geladak kapal PELNI sebelum merapat, ketika sampai di daerah ini. [Dasar orang kampung! Di jantung kota Paris, pikirannya ingat kampung].

Perekonomian daerah Minahasa bergantung kopra. Tahun 1940-an, pangsa kopra dari keseluruhan ekspor adalah sebesar 86 persen. Ketika itu, pasokan kopra dikelola oleh sebuah yayasan, Jayasan Kopra. Januari 1955, di Manado, yayasan ini diambil alih pengusaha Minahasa, petani kelapa dan veteran tentara. Namanya jadi Jajasan Kelapa Minahasa.

Satu tahun setelahnya, Jayasan Kopra itu dibubarkan. Bangkrut. Utangnya bertumpuk. ***

Paris, 29 September 2005.

26 Januari, 2008

Lieber Dresden













Dresden yang baik,

untuk kali kesekian, saya menginjakkan kaki lagi di pekaranganmu. Angin bertiup sedikit kencang, 19 Januari, 2008. Saya sampai terbatuk-batuk. Untung salju tidak turun. Seperti sudah-sudah, saya datang mengantar teman dan berniat menunjukkan kecantikanmu.

Juga, seperti lalu-lalu, saya membawanya ke kawasan sekolah seni Kunstakademie Dresden. Berdiri di sana, seperti melihat satu konfigurasi apik tata kota dengan bangunan-bangunan kuno. Di depannya mengalir Elbe, sungai yang selalu saja membuatmu charming, bahkan saat daun-daun rontok dimakan dingin. Semoga nanti, si nona manis tidak pernah marah lagi, agar air sungainya tak luber ke lorong-lorong kota.

Benar kata seorang sahabat saya yang lain, engkau adalah kota yang penting. Dulu, sekarang dan akan datang. Karena kau penting, Perang Dunia Kedua meluluhlantak nyaris semua yang tegak di atasmu.

Negara Bagian Saxony menetapkan engkau sebagai ibukota, pun karena kau penting. Sebagian orang di kota tempat saya tinggal iri denganmu. Dan ini dapat dimengerti: Leipzig tak punya sungai membelah kota, sepertimu.

Saya tak tahu apa sikapmu atas tindakan para mahasiswa setempat akhir-akhir ini. Mereka mengambil alih jalan-jalan kota dan terpaksa menghentikan denyutmu sebentar, tiap kali memaksa agar pendidikan tinggi di Saxony tetap milik semua orang. Menjadi pintar, di mata mereka, adalah perkara hak dan pilihan. Bukan soal asal-usul sosial.


Dresden yang baik,

saya tak bakal pernah lupa, tiga tahun lalu, saat penjaga museum seni Staatliche Kunstsammlung dengan suara Jermannya yang khas berteriak pada saya, “Jangan sentuh itu, anak muda!“. Kau tahu benar, bagaimana bila seorang petugas Jerman berteriak di dalam museum yang sunyi. Sungguh, ketika ia memergoki, saya sekedar menunjuk, dan tak hendak menyentuh apa-apa. Betapa pengalaman di salah satu museum seni terpenting di dunia itu demikian membekas.

Dalam batin, saya juga menyimpan kekhawatiran, setiap kali melintas di depan Saechsischer Landtag. Kau barangkali juga tahu keprihatinan itu: terdapat delapan kepala kacang polong, wakil jaman batu, di dalam gedung DPRD Saxony itu.

Tapi tak usah kau ikut-ikut khawatir. Saya tidak akan membocorkan hal ini kepada teman saya.

Saya tak ingin sedikitpun mengurangi kekaguman dia atasmu, atas bangunan gereja Frauenkirche elegan itu misalnya, atau atas gedung opera Semperoper masyur, yang baru saja kami kunjungi.

Biarkan ini rahasia kita berdua saja.

Sahabatmu,
Sonny




Catatan tulisan

"Delapan kepala kacang polong, wakil jaman batu" adalah ekspresi yang saya gunakan, untuk delapan anggota NPD di Parlemen Saxony. Nationaldemokratische Partei Deutschland (NPD) adalah partai kanan yang rasis, anti orang-asing, dan memaksakan keutamaan nilai, karakter, kepentingan bangsa Aria.

Partai ini sering disebut partai Neo-Nazi dan fasis. Di Jerman, ia ditempatkan sebagai kekuatan politik anti-demokrasi. "Fasisme" di Jerman berkembang khususnya setelah Perang Dunia Pertama.

Pembakaran buku, penutupan tempat ibadah, pembubaran paksa, pelarangan ajaran atau interpretasi lain, kebencian dan pembunuhan berbasis ras, agama dan lain-lain, merupakan beberapa praktek yang lazim ditemukan dalam fasisme. Dari contoh-contoh ini, terlihat bahwa atribut penting fasisme adalah intoleransi atas misalnya pandangan, agama, keyakinan, sistem, yang lain.

Fasisme menyandarkan diri pada pentingnya kekuasaan negara dan mobilisasi massa.

Seruan solidaritas di bawah fasisme bukanlah berdasar pada solidaritas kemanusiaan yang universal, tetapi solidaritas bersyarat, seperti - tetapi tidak terbatas pada - kesamaan ras, agama, dan sebagainya. Saat Hitler berkuasa di Jerman, fasisme lebih berorientasi ras.



Keterangan foto, atas ke bawah

[1] Kompleks Kunstakademie Dresden, disamping sungai Elbe.

[2] Residenzschloss dan Gereja Kathedrale Dresden, di belakang pohon-pohon tanpa dedaunan.

[3] Jembatan Neo-barok, antara gedung Residenzschloss dan katedral St. Trinitas (tak tampak dalam gambar).

[4] Samping gereja Frauenkirche, dilihat dari jauh.

[5] Saya, di depan Fuerstenzug, lukisan porselen terpanjang di dunia, di lorong jalan Augustusstraße.

Kredit foto [1,3, dan 5] F Thufail, [2 dan 4] SM.

Untuk melihat lebih banyak foto lagi, klik sini.



19 Januari, 2008

Seribu jarum di Bad Bevensen


Dalam minggu ini, saya telah melakukan jogging tiga kali. Berlari ringan dengan kecepatan tetap selama sekitar 20 menit, berulang-ulang, sambil menghirup dalam-dalam kecerdasan alam. Menembus hutan, ketika pagi masih begitu hening dan orang masih mengerut dibalik selimut. Mentari baru siap-siap bersinar.

Tetapi, hari ini saya ingin melakukan yang lain.

Ada sungai kecil mengalir membelah Bad Bevensen. Ilmenau nama sungai itu. Kota Bad Bevensen dicapai sekitar satu jam setengah dengan kereta api dari Hamburg, ke arah tenggara. Kota yang mungil, tenang, hijau penuh pepohonan. Sesekali terlihat kandang-kandang kuda di sisi jalan. Terdapat kuil kecil Medingen di kota ini.

Setiap tahun, Heinrich Boell Foundation menyelenggarakan akademi musim panas di sini bagi para penerima beasiswanya.

Tak jauh dari tempat saya menginap, terdapat bifurkasi sungai. Sungai itu membelah diri menjadi sungai-sungai lebih kecil. Lebar setiap sungai barangkali tak lebih dari 30 meter.

Sekarang memang musim panas. Sayangnya, selang satu minggu ini, mentari muncul malu-malu di utara Jerman. Kalaupun muncul, secepat itu ia berlalu. Air sungai jadinya tetap dingin.

Saya ingin sekali meloncat di sungai kecil itu. Membiarkan alam kembali menjadi guru untuk kesekian kali. “Bagus loh untuk siklus tubuh kamu”, kata Felix, sesama penerima beasiswa, mahasiswa fisika di Universitas Teknik (TU) Munich.

Kemarin, dia berhasil berenang sebentar di sungai itu. Sekitar lima menit. Belajar karate dan penggemar olahraga ekstrem musim dingin, kata-kata itu enteng meluncur dari mulutnya. Kemarin, saya belum siap untuk berenang.

Pagi ini saya siap. Menggunakan celana pendek, saya menuju sungai, bersama seorang perempuan Jerman yang cantik, sesama penerima beasiswa. Sinar matahari pagi baru mulai menembus celah-celah pohon. Melepas kaos, bertelanjang dada, saya mendekati tepian sungai.

Telapak sampai mata kaki serasa ditusuk jarum-jarum, saat kaki-kaki saya mendarat di bagian dangkal sungai. Awalnya, tusukan jarum itu masih terasa satu-satu; sekarang semua tusukan seperti menjadi serentak ketika saya terus melangkah maju. Sebatas paha telah terendam air dan tusukan-tusukan itu tidak lagi terasa. Kaki-kaki saya mulai mati rasa.

“Gerakkan badanmu, Sonny!” teriaknya. Dia sendiri telah mencebur seluruh badan dan mulai berjuang melawan arus. Dengan telapak tangan, saya mulai membasahi pergelangan tangan cepat-cepat, selanjutnya bagian dada serta punggung. Dan mulai memaki dinginnya air.

Saya menenggelamkan diri sampai seleher.

Lalu bergerak melawan arus.

Mengepakngepakkan kaki.

Terhanyut, ditarik arus.

Membentangbentangkan tangan, menarik badan.

Berteriak-teriak.

Teman berenang saya sampai terbahak-bahak melihat tingkah saya. Giliran dia naik, mencari handuk. Saya tidak ikut naik.

Saya bertahan. Telah saya temukan titik temu antara temperatur tubuh dan suhu air.

“Sudah cukup, Sonny!”

“Tunggu barang sebentar lah.”

“Tidak baik terlalu lama.”

“Sebentar saja,” jawab saya.

Saya tidak lagi merasa dingin. Saya terus berenang, menggerakkan badan. Mengabaikan seruan-seruannya. Membiarkan arus sesekali menghanyutkan diri, lalu mulai lagi berenang maju.

Akhirnya saya naik ke darat. Sekejap terasa sesuatu yang ganjil. Punggung bagian bawah saya tidak merasakan apa-apa lagi.

Tidak bisa digerakkan. ***


S. Mumbunan, Bad Bevensen, 4 Agustus 2007


Kredit foto Sven-Lukas Müller (http://www.schwarzaufweiss.de/deutschland/heidepaddeln4.htm). Copyright by Sven-Lukas Müller. All rights reserved.


14 Januari, 2008

Penjahat kemanusiaan dalam ruang 600


Setelah Jerman bertekuk lutut dalam Perang Dunia Kedua, selanjutnya adalah masa ketika para penjahat perang digadang ke kursi pesakitan. Kota Nuernberg adalah tempat penting dalam kisah itu.

Lalu, mengapa kota yang oleh lidah Inggris disebut Nuremberg it
u dipilih sebagai international military tribunal, tempat para penjahat perang diadili?

Pilihan jatuh pada kota ini sebab, antara lain, ia punya kompleks pengadilan yang luas. Selain itu, kompleks ini dilengkapi fasilitas penjara, dan tidak terlalu hancur karena perang.

Penentuan kota bukan perkara gampang, apalagi sepele. Amerika Serikat, Inggris, Rusia dan Perancis, para pemenang perang, punya pendapat dan kepentingan masing-masing. Rusia, misalnya, ingin pengadilan itu berlangsung di Berlin. Singkat cerita, dicapai jalan tengah: pengadilan pertama berlangsung di Nuremberg, pengadilan-pengadilan lanjutan bakal mengambil tempat di Berlin. Karena Perang Dingin, kita tidak pernah menyaksikan pengadilan-pengadilan lanjutan itu.

Sabtu, 26 Mei, musim panas 2007, saya mengunjungi kota ini bersama Dr. Fadjar Thufail, antropolog LIPI, Dr. Arskal Salim, peneliti hukum agama di UIN Jakarta, dan ibu Atka Savitri, seorang peminat sejarah.

Matahari belum muncul ketika kami meninggalkan kota Halle di bagian tengah Jerman, menuju Nuremberg, di selatan Jerman, menggunakan tiket akhir pekan. Apa yang lazim dikenal dengan nama Wochenende-Ticket (WT) itu harganya 33 Euro. Tiket ini dapat digunakan sehari penuh untuk 5 orang. Tiga kali kami pindah kereta dalam perjalanan. Maklum akhir pekan, salah satu kereta yang kami tumpangi penuh, sampai-sampai sebagian harus berdiri.

Tujuan utama kami: Nuremberg, ruang pengadilan nomor 600.

Justizpalast nama kompleksnya, terletak di jalan Bärenschanzstraße nomor 72. Setelah melihat-lihat kota sebentar, pukul 2 siang kami masuk kompleks bangunan pengadilan yang terkenal itu. Setiap orang membayar tiket masuk seharga 2,5 Euro. Rombongan kami, sekitar 20 orang, dipimpin seorang pemandu. Kami mendengar penjelasan dan menonton video jalannya pengadilan di tempat pengadilan perang itu dulu berlangsung.

Dibanding aslinya, bagian bangunan yang dikenal dengan Schwurgerichtssaal 600 sudah berubah. Tinggal dekorasi pintu menuju penjara dan atap ruangan sidang yang masih seperti asli.


... Tetap teka-teki, racun sianida bisa masuk ke dalam penjara Goering...

Dari bulan November 1945 sampai Oktober 1946, di ruangan ini, 24 petinggi atau pimpinan partai Nazi. Putusan bersalah dijatuhkan pula atas organisasi-organisasi seperti NSDAP, Partai Nazi Jerman.

Termasuk organisasi yang dinyatakan bersalah adalah SS (Schutzstaffel), pasukan elit dibawah komando Hitler dan Partai Nazi; SD (Sicherheitsdienst) badan intelijen utama Nazi; dan Gestapo (Geheime Staatspolizei), polisi rahasia resmi Nazi. Kepada mereka dikenakan dengan empat tuntutan.

Tuntutan pertama adalah konspirasi melawan perdamaian dunia. Tuntuntan kedua, merencanakan, memulai dan melancarkan perang agresi. Lalu, tuntutan melakukan kejahatan perang. Tuntutan terakhir, kejahatan atas kemanusiaan.

Sebagian penjahat perang diadili in absentia atau tanpa kehadiran mereka.

7 orang dihukum penjara seumur hidup. 12 orang pimpinan NAZI dihukum gantung. Hukuman mati berlangsung dini hari, 16 Oktober 1946. Debu kremasi mereka ditebar di sungai Isar, di kota Munich.

Herman Goering adalah salah satu yang turut diadili. Menteri Dalam Negeri era Hitler dan pendiri Polisi Rahasia (Gestapo) dikenai empat tuntutan diatas. Ia dijatuhi hukuman mati. Pada malam sebelum eksekusi berlangsung, ia bunuh diri dengan memakan racun sianida. Tetap teka-teki, bagaimana sianida itu bisa tembus sampai ke dalam sel dia.

Sayang, kami tak diperbolehkan masuk ke lokasi penjara di kompleks pengadilan itu. ***


Oleh Sonny M. Informasi dalam tulisan ini merujuk pada tulisan singkat Prof. Klaus Kastner dari Oberlandesgericht Nuernberg, yang dibagikan pada pengunjung. Kredit foto The Nuremberg Trial: USHMM Photo Archieves.





Justizpalast. Kompleks pengadilan. (Foto: Atka Savitri)





Plakat di pintu masuk (Foto: Atka Savitri).






Penanda di depan ruang sidang nomor 600 (Foto: Atka Savitri)






Di dalam ruang sidang (Foto: Atka Savitri).





Dekorasi di kiri adalah pintu menuju penjara.

Bagian ini masih seperti aslinya. (Foto: Atka Savitri)
















Menyusuri benteng kota Nuremberg (Foto: Fadjar Thufail)
















Benteng kota Nuremberg (Foto: Fadjar Thufail).

















"Street of human rights", Nuremberg. Pada tiang-tiang beton yang berdiri berjejer,
tertulis butir-butir Declaration of Human Rights dalam berbagai bahasa dunia
(Foto: Sonny M).






















Toilet dan sosis? Toilet hanya khusus untuk tamu
tempat makan sosis milik Gloeckle. (Foto: Sonny M).
















Berkaca mata hitam adalah Arskal. Lalu Fadjar. Dan saya.
Vitri, karena mengambil gambar ini, tidak muncul di foto.



11 Januari, 2008

Paris, coklat dan sepotong kontradiksi


Saya mengunyah beberapa penggal kecil Noir Noisettes Entlěres, coklat paling murah yang bisa saya dapat di gerai serba ada kemarin. Ini saat makan siang, pukul 12:40. Sekeluarga bule menikmati pizza di samping kiri saya. Si bungsu anggota keluarga itu mengejar-ngejar segerombolan merpati. Ia girang sekali melihat burung-burung itu terbang.

Di kanan sebelah, seorang tampak sementara menunggu. Sambil mencabut-cabut jenggot pendek di dagu, ia menggoyang-goyang kaki. Begitu santai.

Air mancur menyembur dan suaranya ramai bergemericik di belakang saya. Sementara, dingin musim gugur lamat-lamat merambah bagian tubuh saya yang tak bertutup. Leher belakang. Telinga dan pipi. Celah antara kaos kaki dan longgar celana juga tak luput. Melalui beton tempat duduk, dingin menembus jeans biru saya.

Gambar kiri
Menara Eifel tampak dari sisi Trocadero. Foto Sonny M.

Tak tampak kabut menggantung di atas sungai Seine. Menara katedral Notre-Dame terlihat tak seberapa jauh. Saya duduk di halaman Hotel de Ville, balai kota Paris, di sisi dekat Rue de Rivoli. Bendera Perancis berdamping dengan bendera Uni Eropa melambai-lambai dari kubah kecil pada bagian depan bangunan. Di bawah bendera-bendera itu, terpancang patung-patung malaikat putih. Patung-patung itu begitu muncul di depan latar atap yang gelap. Ada pula jam besar.

Sedikit lebih ke bawah lagi, di badan dinding terpahat “Liberte, Egalite, Fraternite”.

Balai kota ini punya dua pintu utama. Di samping pintu kanan – dari arah dalam gedung – terpampang baliho ukuran besar dengan foto Inggrid Betancourt. Latarnya putih. Betancourt adalah pegiat politik di Kolombia yang sedang disekap gerilyawan kiri. Betancourt besar dan studi di Paris. Baliho itu mengirim seruan pembebasan dirinya.

Di depan baliho itu melintas sekelompok kecil pelancong. Sayup-sayup terdengar bahasa mereka. Sepertinya kelompok turis ini berasal dari Cina. Di sana-sini terlihat orang-orang mengambil gambar dengan objek yang memasang senyum berlatar gedung.

Gambar kanan
Antrian orang melihat lukisan Mona Lisa, karya Leonardo Da vinci di Museum Louvre. Foto Sonny M.

Ada bidang lapang di depan balai kota. Di mulut lapangan berjejer pagar besi tak permanen. Saya menaksir jarak antara depan gedung sampai pagar pembatas itu. Kira-kira 60 meter jaraknya.

Sambil menggigit batang-batang coklat, saya memerhatikan lelaki yang mendorong sepeda melintas bidang lapang itu. Lalu, pada perempuan cantik yang lekas-lekas seraya merapatkan mantel penghangat yang disingkap angin sementara perempuan lain melenggang santai dengan tangan menenteng tas-tas kotak karton berisi belanja.

Di luar jejeran pagar pembatas, terlihat sekelompok orang berkerumun. Jumlahnya seratus duaratusan. Raut muka mereka tampak begitu serius.

Gambar kiri
Katedral Notre Dame. Foto Sonny M.

Bendera-bendera menyembul di tengah kerumunan itu. Panji merah CGT dengan garis putih dibawah - sebagian lain kadang-kadang warna kuning - berkibar dikibas angin. CGT, disingkat dari Confédération générale du travail, yang dekat dengan Partai Komunis Perancis, merupakan salah satu serikat buruh terbesar di negeri ini.

Berjaga-jaga di samping dalam pagar, adalah para polisi berpeci. Pakaiannya necis, warna biru gelap. Tulisan putih “Gendarmerie” tertulis agak besar di punggung para polisi khusus tersebut.

Meski hari ini didesas-desuskan pekerja transportasi melancarkan pemogokan di antero Paris, sampai stasiun Rambuteu saya masih bisa naik Metro, kereta bawah tanah. Di sekitar stasiun antar-koneksi Republique pengguna Metro juga tetap tampak lalu lalang. Barangkali pemogokan bertahap, mungkin pula hanya di sebagian wilayah, pikir saya.

Saya tidak paham bahasa Perancis. Tak satupun maksud kata-kata dari pengeras suara yang saya tangkap dari tengah kerumunan protes itu. Saya mereka-reka sebagian maksud para demonstran dari kata-kata di atas spanduk: Nos salaires, l’emploi, juga La protection Sociale. Kata-kata itu itu ditulis memiring. Barangkali mereka menuntut upah naik, lapangan kerja dan perlindungan sosial.

Gambar kanan
Sungai Seine, membelah Paris. Foto L Matan.

Lebih kurang 10 menit sebelumnya, sekelompok buruh yang lain berjalan membawa bendera-bendera ungu “Sud Sante”. Tetapi mereka tak berhenti di depan Hotel de Ville. Di samping megamarket BHV, kelompok ini berbelok lalu menyusur jalan Rue de Temple yang tak terlalu lebar itu. Mereka menyobek-nyobek kertas, menghamburkannya, membiarkannya menyepuh sebagian badan jalan, sebelum akhirnya dibersihkan para buruh kebersihan kota dengan mesin hisap.

Lapangan di depan Hotel de Ville jadi seperti penampang. Penampang yang lapang. Di atas penampang itu, slogan revolusi Perancis, baliho putih, perangkat pendisiplinan dan protes buruh berjejer segaris secara kebetulan. Saya duduk menyaksikan garis itu persis dari sisi ortogonal. Sebuah garis ironis di satu petak jantung kota Paris, tempat republik pertama tegak di muka bumi.

Gambar kiri
Saya, di depan Louvre. Foto Anonim.

Ibarat remah-remah makanan yang dipatuki burung tadi, begitu pula potongan-potongan kenyataan kebetulan itu. Terpisah-pisah dan berserak. Lantas terjalin demikian rupa dalam imajinasi seorang pengunjung kota yang menikmati siang, musim gugur dan coklat.

Tak ada mentari kali ini. Ketika lima ekor burung dara mengelilingi kaki bergeming saya, penggal-penggal coklat paling murah itu semuanya sudah selesai. ***

Paris, 4 Oktober 2005