26 Januari, 2008

Lieber Dresden













Dresden yang baik,

untuk kali kesekian, saya menginjakkan kaki lagi di pekaranganmu. Angin bertiup sedikit kencang, 19 Januari, 2008. Saya sampai terbatuk-batuk. Untung salju tidak turun. Seperti sudah-sudah, saya datang mengantar teman dan berniat menunjukkan kecantikanmu.

Juga, seperti lalu-lalu, saya membawanya ke kawasan sekolah seni Kunstakademie Dresden. Berdiri di sana, seperti melihat satu konfigurasi apik tata kota dengan bangunan-bangunan kuno. Di depannya mengalir Elbe, sungai yang selalu saja membuatmu charming, bahkan saat daun-daun rontok dimakan dingin. Semoga nanti, si nona manis tidak pernah marah lagi, agar air sungainya tak luber ke lorong-lorong kota.

Benar kata seorang sahabat saya yang lain, engkau adalah kota yang penting. Dulu, sekarang dan akan datang. Karena kau penting, Perang Dunia Kedua meluluhlantak nyaris semua yang tegak di atasmu.

Negara Bagian Saxony menetapkan engkau sebagai ibukota, pun karena kau penting. Sebagian orang di kota tempat saya tinggal iri denganmu. Dan ini dapat dimengerti: Leipzig tak punya sungai membelah kota, sepertimu.

Saya tak tahu apa sikapmu atas tindakan para mahasiswa setempat akhir-akhir ini. Mereka mengambil alih jalan-jalan kota dan terpaksa menghentikan denyutmu sebentar, tiap kali memaksa agar pendidikan tinggi di Saxony tetap milik semua orang. Menjadi pintar, di mata mereka, adalah perkara hak dan pilihan. Bukan soal asal-usul sosial.


Dresden yang baik,

saya tak bakal pernah lupa, tiga tahun lalu, saat penjaga museum seni Staatliche Kunstsammlung dengan suara Jermannya yang khas berteriak pada saya, “Jangan sentuh itu, anak muda!“. Kau tahu benar, bagaimana bila seorang petugas Jerman berteriak di dalam museum yang sunyi. Sungguh, ketika ia memergoki, saya sekedar menunjuk, dan tak hendak menyentuh apa-apa. Betapa pengalaman di salah satu museum seni terpenting di dunia itu demikian membekas.

Dalam batin, saya juga menyimpan kekhawatiran, setiap kali melintas di depan Saechsischer Landtag. Kau barangkali juga tahu keprihatinan itu: terdapat delapan kepala kacang polong, wakil jaman batu, di dalam gedung DPRD Saxony itu.

Tapi tak usah kau ikut-ikut khawatir. Saya tidak akan membocorkan hal ini kepada teman saya.

Saya tak ingin sedikitpun mengurangi kekaguman dia atasmu, atas bangunan gereja Frauenkirche elegan itu misalnya, atau atas gedung opera Semperoper masyur, yang baru saja kami kunjungi.

Biarkan ini rahasia kita berdua saja.

Sahabatmu,
Sonny




Catatan tulisan

"Delapan kepala kacang polong, wakil jaman batu" adalah ekspresi yang saya gunakan, untuk delapan anggota NPD di Parlemen Saxony. Nationaldemokratische Partei Deutschland (NPD) adalah partai kanan yang rasis, anti orang-asing, dan memaksakan keutamaan nilai, karakter, kepentingan bangsa Aria.

Partai ini sering disebut partai Neo-Nazi dan fasis. Di Jerman, ia ditempatkan sebagai kekuatan politik anti-demokrasi. "Fasisme" di Jerman berkembang khususnya setelah Perang Dunia Pertama.

Pembakaran buku, penutupan tempat ibadah, pembubaran paksa, pelarangan ajaran atau interpretasi lain, kebencian dan pembunuhan berbasis ras, agama dan lain-lain, merupakan beberapa praktek yang lazim ditemukan dalam fasisme. Dari contoh-contoh ini, terlihat bahwa atribut penting fasisme adalah intoleransi atas misalnya pandangan, agama, keyakinan, sistem, yang lain.

Fasisme menyandarkan diri pada pentingnya kekuasaan negara dan mobilisasi massa.

Seruan solidaritas di bawah fasisme bukanlah berdasar pada solidaritas kemanusiaan yang universal, tetapi solidaritas bersyarat, seperti - tetapi tidak terbatas pada - kesamaan ras, agama, dan sebagainya. Saat Hitler berkuasa di Jerman, fasisme lebih berorientasi ras.



Keterangan foto, atas ke bawah

[1] Kompleks Kunstakademie Dresden, disamping sungai Elbe.

[2] Residenzschloss dan Gereja Kathedrale Dresden, di belakang pohon-pohon tanpa dedaunan.

[3] Jembatan Neo-barok, antara gedung Residenzschloss dan katedral St. Trinitas (tak tampak dalam gambar).

[4] Samping gereja Frauenkirche, dilihat dari jauh.

[5] Saya, di depan Fuerstenzug, lukisan porselen terpanjang di dunia, di lorong jalan Augustusstraße.

Kredit foto [1,3, dan 5] F Thufail, [2 dan 4] SM.

Untuk melihat lebih banyak foto lagi, klik sini.



Tidak ada komentar: