11 Januari, 2008

Paris, coklat dan sepotong kontradiksi


Saya mengunyah beberapa penggal kecil Noir Noisettes Entlěres, coklat paling murah yang bisa saya dapat di gerai serba ada kemarin. Ini saat makan siang, pukul 12:40. Sekeluarga bule menikmati pizza di samping kiri saya. Si bungsu anggota keluarga itu mengejar-ngejar segerombolan merpati. Ia girang sekali melihat burung-burung itu terbang.

Di kanan sebelah, seorang tampak sementara menunggu. Sambil mencabut-cabut jenggot pendek di dagu, ia menggoyang-goyang kaki. Begitu santai.

Air mancur menyembur dan suaranya ramai bergemericik di belakang saya. Sementara, dingin musim gugur lamat-lamat merambah bagian tubuh saya yang tak bertutup. Leher belakang. Telinga dan pipi. Celah antara kaos kaki dan longgar celana juga tak luput. Melalui beton tempat duduk, dingin menembus jeans biru saya.

Gambar kiri
Menara Eifel tampak dari sisi Trocadero. Foto Sonny M.

Tak tampak kabut menggantung di atas sungai Seine. Menara katedral Notre-Dame terlihat tak seberapa jauh. Saya duduk di halaman Hotel de Ville, balai kota Paris, di sisi dekat Rue de Rivoli. Bendera Perancis berdamping dengan bendera Uni Eropa melambai-lambai dari kubah kecil pada bagian depan bangunan. Di bawah bendera-bendera itu, terpancang patung-patung malaikat putih. Patung-patung itu begitu muncul di depan latar atap yang gelap. Ada pula jam besar.

Sedikit lebih ke bawah lagi, di badan dinding terpahat “Liberte, Egalite, Fraternite”.

Balai kota ini punya dua pintu utama. Di samping pintu kanan – dari arah dalam gedung – terpampang baliho ukuran besar dengan foto Inggrid Betancourt. Latarnya putih. Betancourt adalah pegiat politik di Kolombia yang sedang disekap gerilyawan kiri. Betancourt besar dan studi di Paris. Baliho itu mengirim seruan pembebasan dirinya.

Di depan baliho itu melintas sekelompok kecil pelancong. Sayup-sayup terdengar bahasa mereka. Sepertinya kelompok turis ini berasal dari Cina. Di sana-sini terlihat orang-orang mengambil gambar dengan objek yang memasang senyum berlatar gedung.

Gambar kanan
Antrian orang melihat lukisan Mona Lisa, karya Leonardo Da vinci di Museum Louvre. Foto Sonny M.

Ada bidang lapang di depan balai kota. Di mulut lapangan berjejer pagar besi tak permanen. Saya menaksir jarak antara depan gedung sampai pagar pembatas itu. Kira-kira 60 meter jaraknya.

Sambil menggigit batang-batang coklat, saya memerhatikan lelaki yang mendorong sepeda melintas bidang lapang itu. Lalu, pada perempuan cantik yang lekas-lekas seraya merapatkan mantel penghangat yang disingkap angin sementara perempuan lain melenggang santai dengan tangan menenteng tas-tas kotak karton berisi belanja.

Di luar jejeran pagar pembatas, terlihat sekelompok orang berkerumun. Jumlahnya seratus duaratusan. Raut muka mereka tampak begitu serius.

Gambar kiri
Katedral Notre Dame. Foto Sonny M.

Bendera-bendera menyembul di tengah kerumunan itu. Panji merah CGT dengan garis putih dibawah - sebagian lain kadang-kadang warna kuning - berkibar dikibas angin. CGT, disingkat dari Confédération générale du travail, yang dekat dengan Partai Komunis Perancis, merupakan salah satu serikat buruh terbesar di negeri ini.

Berjaga-jaga di samping dalam pagar, adalah para polisi berpeci. Pakaiannya necis, warna biru gelap. Tulisan putih “Gendarmerie” tertulis agak besar di punggung para polisi khusus tersebut.

Meski hari ini didesas-desuskan pekerja transportasi melancarkan pemogokan di antero Paris, sampai stasiun Rambuteu saya masih bisa naik Metro, kereta bawah tanah. Di sekitar stasiun antar-koneksi Republique pengguna Metro juga tetap tampak lalu lalang. Barangkali pemogokan bertahap, mungkin pula hanya di sebagian wilayah, pikir saya.

Saya tidak paham bahasa Perancis. Tak satupun maksud kata-kata dari pengeras suara yang saya tangkap dari tengah kerumunan protes itu. Saya mereka-reka sebagian maksud para demonstran dari kata-kata di atas spanduk: Nos salaires, l’emploi, juga La protection Sociale. Kata-kata itu itu ditulis memiring. Barangkali mereka menuntut upah naik, lapangan kerja dan perlindungan sosial.

Gambar kanan
Sungai Seine, membelah Paris. Foto L Matan.

Lebih kurang 10 menit sebelumnya, sekelompok buruh yang lain berjalan membawa bendera-bendera ungu “Sud Sante”. Tetapi mereka tak berhenti di depan Hotel de Ville. Di samping megamarket BHV, kelompok ini berbelok lalu menyusur jalan Rue de Temple yang tak terlalu lebar itu. Mereka menyobek-nyobek kertas, menghamburkannya, membiarkannya menyepuh sebagian badan jalan, sebelum akhirnya dibersihkan para buruh kebersihan kota dengan mesin hisap.

Lapangan di depan Hotel de Ville jadi seperti penampang. Penampang yang lapang. Di atas penampang itu, slogan revolusi Perancis, baliho putih, perangkat pendisiplinan dan protes buruh berjejer segaris secara kebetulan. Saya duduk menyaksikan garis itu persis dari sisi ortogonal. Sebuah garis ironis di satu petak jantung kota Paris, tempat republik pertama tegak di muka bumi.

Gambar kiri
Saya, di depan Louvre. Foto Anonim.

Ibarat remah-remah makanan yang dipatuki burung tadi, begitu pula potongan-potongan kenyataan kebetulan itu. Terpisah-pisah dan berserak. Lantas terjalin demikian rupa dalam imajinasi seorang pengunjung kota yang menikmati siang, musim gugur dan coklat.

Tak ada mentari kali ini. Ketika lima ekor burung dara mengelilingi kaki bergeming saya, penggal-penggal coklat paling murah itu semuanya sudah selesai. ***

Paris, 4 Oktober 2005




1 komentar:

Anonim mengatakan...

Son, so pernah pi Paris dang ? Mantap tu kota kang ? Jangan lupa tu acara bulan Oktober di Jakarta.