19 Januari, 2008

Seribu jarum di Bad Bevensen


Dalam minggu ini, saya telah melakukan jogging tiga kali. Berlari ringan dengan kecepatan tetap selama sekitar 20 menit, berulang-ulang, sambil menghirup dalam-dalam kecerdasan alam. Menembus hutan, ketika pagi masih begitu hening dan orang masih mengerut dibalik selimut. Mentari baru siap-siap bersinar.

Tetapi, hari ini saya ingin melakukan yang lain.

Ada sungai kecil mengalir membelah Bad Bevensen. Ilmenau nama sungai itu. Kota Bad Bevensen dicapai sekitar satu jam setengah dengan kereta api dari Hamburg, ke arah tenggara. Kota yang mungil, tenang, hijau penuh pepohonan. Sesekali terlihat kandang-kandang kuda di sisi jalan. Terdapat kuil kecil Medingen di kota ini.

Setiap tahun, Heinrich Boell Foundation menyelenggarakan akademi musim panas di sini bagi para penerima beasiswanya.

Tak jauh dari tempat saya menginap, terdapat bifurkasi sungai. Sungai itu membelah diri menjadi sungai-sungai lebih kecil. Lebar setiap sungai barangkali tak lebih dari 30 meter.

Sekarang memang musim panas. Sayangnya, selang satu minggu ini, mentari muncul malu-malu di utara Jerman. Kalaupun muncul, secepat itu ia berlalu. Air sungai jadinya tetap dingin.

Saya ingin sekali meloncat di sungai kecil itu. Membiarkan alam kembali menjadi guru untuk kesekian kali. “Bagus loh untuk siklus tubuh kamu”, kata Felix, sesama penerima beasiswa, mahasiswa fisika di Universitas Teknik (TU) Munich.

Kemarin, dia berhasil berenang sebentar di sungai itu. Sekitar lima menit. Belajar karate dan penggemar olahraga ekstrem musim dingin, kata-kata itu enteng meluncur dari mulutnya. Kemarin, saya belum siap untuk berenang.

Pagi ini saya siap. Menggunakan celana pendek, saya menuju sungai, bersama seorang perempuan Jerman yang cantik, sesama penerima beasiswa. Sinar matahari pagi baru mulai menembus celah-celah pohon. Melepas kaos, bertelanjang dada, saya mendekati tepian sungai.

Telapak sampai mata kaki serasa ditusuk jarum-jarum, saat kaki-kaki saya mendarat di bagian dangkal sungai. Awalnya, tusukan jarum itu masih terasa satu-satu; sekarang semua tusukan seperti menjadi serentak ketika saya terus melangkah maju. Sebatas paha telah terendam air dan tusukan-tusukan itu tidak lagi terasa. Kaki-kaki saya mulai mati rasa.

“Gerakkan badanmu, Sonny!” teriaknya. Dia sendiri telah mencebur seluruh badan dan mulai berjuang melawan arus. Dengan telapak tangan, saya mulai membasahi pergelangan tangan cepat-cepat, selanjutnya bagian dada serta punggung. Dan mulai memaki dinginnya air.

Saya menenggelamkan diri sampai seleher.

Lalu bergerak melawan arus.

Mengepakngepakkan kaki.

Terhanyut, ditarik arus.

Membentangbentangkan tangan, menarik badan.

Berteriak-teriak.

Teman berenang saya sampai terbahak-bahak melihat tingkah saya. Giliran dia naik, mencari handuk. Saya tidak ikut naik.

Saya bertahan. Telah saya temukan titik temu antara temperatur tubuh dan suhu air.

“Sudah cukup, Sonny!”

“Tunggu barang sebentar lah.”

“Tidak baik terlalu lama.”

“Sebentar saja,” jawab saya.

Saya tidak lagi merasa dingin. Saya terus berenang, menggerakkan badan. Mengabaikan seruan-seruannya. Membiarkan arus sesekali menghanyutkan diri, lalu mulai lagi berenang maju.

Akhirnya saya naik ke darat. Sekejap terasa sesuatu yang ganjil. Punggung bagian bawah saya tidak merasakan apa-apa lagi.

Tidak bisa digerakkan. ***


S. Mumbunan, Bad Bevensen, 4 Agustus 2007


Kredit foto Sven-Lukas Müller (http://www.schwarzaufweiss.de/deutschland/heidepaddeln4.htm). Copyright by Sven-Lukas Müller. All rights reserved.


Tidak ada komentar: